Segitiga Perjuangan
Tak terhitung lagi, entah berapa kali satpam depan gerbang sekolahku setiap pagi menegur diri ini bila aku datang lebih awal daripada para guru. Entah apalah sebabnya, daku tidak tau.
Seperti biasa, setelahku parkirkan motor di tempat parkir khusus murid, akupun bergegas menuju kelasku. Meletakkan tas yang beratnya sekitar lima kilogram di atas kursi dan kemudian berjalan menuju pustaka mini di dalam kelas dengan menggunakan kaki yang terbungkus oleh kaus kaki untuk mengambil salah satu buku fiksi. Di tengah kesunyian jajaran meja di ruangan kelas ini, sesekali terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu berkeliling koridor.
Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak tak asing lagi, walaupun aku baru seminggu menjadi murid di SMA ini. Sebelumnya, tiga hari aku mengikuti kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS) yang diselenggarakan oleh pihak SMA ini. Dan sudah pasti pula semua pihak SMA melakukan hal yang sama teruntuk murid baru. Mungkin bila melihat jauh ke belakang, banyak orang yang ikut andil membuatku sampai sejauh ini. Dari yang benar-benar mendorong sampai yang hanya kebetulan ngoceh.
Mari Kita Flashback
Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka jalur pendaftaran bagi murid yang akan melanjut, termasuk kedua sekolah bagus yang terletak di jarak yang tak teramat jauh. Aku saat itu benar-benar bimbang, bimbang dalam memilih sekolah mana yang akan ku percayai untuk membantuku dalam meraih masa depanku yang Insya Allah, cerah. Tiap malam sebelum tidur aku selalu memikirkan hal itu, hingga suatu hari aku mendapatkan informasi bahwa bisa mendaftar dua sekolah sekaligus walaupun jadwalnya bentrokan. Karena salah satu dari kedua sekolah tersebut membuka dua kali testing.
Tibalah harinya, hari dimana aku akan menghadapi testing di SMA favoritku. Oh iya, testing ini tidak semua murid yang telah daftar mengikutinya. Testing hari ini, terkhusus yang berminat masuk ke kelas unggul. Ya, aku ingin sekali menjadi salah satu bagian dari murid di kelas unggul. Berpikir matang sudah, belajar siang-malam sudah, akhirnya aku memilih jalur testing kelas unggul.
Namun, begitu hari dimana nama-nama murid yang diterima terpampang, aku sama sekali tidak melihat namaku terselip diantara puluhan nama calon murid lainnya. Lebih parahnya di kedua sekolah yang telah ku jalani testing.
Dapat dikatakan, aku sangat kecewa dan sedih sekali melihat lekukan senyum dan loncatan mereka yang gembira karena lulus dan berhasil duduk di kelas unggul, aku benar-benar sangat iri sekali. Tetapi lambat laun sambil berjalan selangkah demi selangkah aku teringat akan sebuah pepatah "Ingat! Allah tidak akan memberi sedih tanpa rencana bahagia selanjutnya". Setelah sekilas pepatah tersebut terbesit di kepalaku, tekadku pun kembali beserta the power of cungkring yang ada pada diriku.
Keesokan harinya aku pun mengikuti test gelombang kedua. Tetapi kali ini aku hanya mengikuti testing di satu SMA, karena SMA tujuanku yang satu lagi tidak ada jadwal testing untuk hari ini karena pengumuman testing sebelumnya belum keluar.
Aku bukan seperti murid berada lainnya yang orang tuanya rela membayar berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah favorit. Aku harus menerima apa adanya, sesuai dengan usaha yang telahku usahakan.
Hingga tibalah saatnya dimana ujian itu sebentar lagi akan dimulai, tetapi aku masih belum yakin dengan pilihanku. Sampai salah seorang dari orangtua murid yang anaknya juga ikut tes menegurku.
"Milih jurusan apa, nak?"
"MIPA,pak" jawabku canggung
"Baguslah, Insya Allah bisa jadi bidan dan kalau ada modal bisa buka klinik sendiri"
"Aaamiin Ya Allah..., Oh iya, anak bapak ngambil jurusan apa?"
"Anak saya ngambil jurusan IPS, nak. Katanya, tujuannya ngambil jurusan IPS karena di jurusan itulah dunia akuntansi dijelaskan secara rinci dan itu akan membantunya sebagai bekal yang akan dibawanya untuk mencapai keinginan berprofesi sebagai karyawan di Bank"
"Wah, mengagumkan sekali. Saya benar-benar kagum dengan jalan pemikiran anak bapak. Saya yakin dia calon anak sukses dan mampu menggapai impiannya serta tentunya mampu membahagiakan kedua orangtuanya."
"Aamiin..., semoga kalian berdua bakalan sukses. Dan saya yakin itu, Insya Allah. Oh iya, kamu milih jurusan itu, milih sendiri atau disuruh orangtua?" tanya bapak tadi.
"Milih sesuai kemauan sendiri, pak" jawabku dengan lekukan senyum capeum (Istilah Aceh)
"Baguslah. Lihat ke sana! Dia pak Syub, bapak itu teman saya" seraya menyasarkan telunjuk kanannya ke arah orang berbadan besar dengan asap yang mengaung dari ujung cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sebelah sana.
"Maaf, yang besar itu pak?" tanyaku
"Iya, dia dulu murid disini juga. Dia murid terpandai dan sekarang juga menjadi guru yang pandai dan kreatif dalam menerapkan metode mengajar. Tak heran jika muridnya tidak bosan saat pelajarannya."
Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak menutup kemungkinan aku dapat meraih cita-cita kecilku itu. Apalagi kebahagian terbesar bagi seorang guru adalah dapat mengajar di tempat ia dulu belajar. Mendengar kata 'Ngajar' seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku juga bisa meraih cita-citaku dari sini. Dengan langkah pasti, aku pun berjalan menuju ruangan ujian.
Karena do'a dan tekad besarku, Alhamdulillah aku lulus ujian tes itu dan mengawali takdirku sebagai pelajar tingkat menengah atas kelas Reguller. Tak masalah bagiku jika aku tidak berhasil menjadi salah satu bagian dari kelas unggul, setidaknya aku sudah bisa menjadi murid di SMA ini saja, sudah syukur Alhamdulillah banget. Allahuakbar...Allahuakbar...
Mungkin aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena telah membuatku yakin, atau kepada seorang guru B.Indonesia yang menceritakan filosofi sebatang pensil ketika aku berada di dalam ruangan ujian waktu itu.
Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berpikir layaknya emas. Coretan pensil itu akan menjadi sebuah karya bila digunakan oleh orang yang tepat. Pada dasarnya semua orang, tepat. Tetapi hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun bagaimana kita menciptakan kualitas diri kita.
Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, itu artinya setiap orang wajar salah pada sebuah perbuatan. Namun bagaimana ia dapat menghapus lalu memperbaikinya hingga karya tersebut menjadi sempurna?
Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan, pensil itu akan habis. Tetapi ia sudah mempunyai karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat bila ia berkenan.
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-cita itu, ia punya karya yang dapat ia wariskan.
Flashback Selesai, Baperlah!
Bel masuk kelas berbunyi, para murid yang sejak tadi berkeliaran di luar kelas, satu demi satu masuk ke dalam. Aku tersentak dari lamunanku, ya itupun karena dikagetin oleh sahabatku yang nachkal, eh nakal maksudnya.
Aku baru teringat, padahal aku sebelumnya mempunyai target membaca buku fiksi yang telah ku ambil ini agar habis terbaca sampai 3 Episode dari 48 Episode karya Tere Liye. Bang Tere Liye emang super banget, ingin rasanya seperti beliau. Mempunyai pekerjaan khusus tetapi disamping itu hobi yang ia miliki dapat menghasilkan uang.
Lekasku beranjak dari bangku yang ada di teras kelasku, dan masuk ke kelas. Langkahku perlahan melambat sambil menatap ke arah lapangan tempat dimana aku menghabiskan momen-momen kebahagian awal di dunia putih abu-abu.
Mantap mbak tulisannya. Keren. Sangat menginspirasi. Btw ini kisah nyata apa cerpen?
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih banyak udah meluangkan waktunya untuk mampir kesini. Hehehe, itu bukan kisah nyata mas. Itu hanya khayalan saya.
Delete